Sinopsis
Ardan seorang tukang kaca keliling. Hidupnya sangat sederhana, tetapi ia tetap gigih berjuang, sabar, tabah dan selalu ikhlas. Apapun cobaan diberikan kepadanya, itikadnya tetap bulat untuk mewujudkan impian untuk menjadikan keluarganya keluar dari himpitan kemiskinan. Ingin pula mengganti gerobaknya dengan sebuah kios.
Beruntung, Ardan mempunyai seorang istri yang solehah, setia, taat kepada suami dan Tuhannya. Dia juga tidak pernah luput mendoakan dan menanti dengan setia kedatangan Ardan sepulangnya dari berjualan kaca keliling. Senyumannya sangat khas untuk membahagiakan hati Ardan. Tutur katanya pun sangat bijak dihadapan kedua buah hati mereka. Hingga ketika keyakinan itu berada pada titik nadir, ternyata sesuatu terjadi pada keluarga tersebut dari arah yang tidak terduga hingga pertemuannya dengan seorang Habib yakni Habib Riziq Shihab yang diperankan oleh Dr. H. Abdul Arafah.
Eh, kamu nyadar nggak sih kalau film di Indonesia—jenis, tema, dan ide cerita yang diangkat—nggak ramai variasinya? Di Hollywood, misalnya, kita bisa menemukan film “seajaib” Ice Age, The Golden Compass, Terminator dan Men in Black. Coba deh, bandingin kejeniusan film-film tadi dengan: Buruan Cium Gue, ML (Mau Lagi), Extra Large, Suster Ngesot, Pocong, Kuntilanak, Hantu Bangku Kosong, Hantu Jeruk Purut, Hantu Jeruk Nipis, Mangga Indramayu, Apel Malang, Salak Pondoh (oke, ngelantur). Kalau dibikin klasifikasinya, cuma ada tiga besar tema perfilman kita: cinta—tapi jorok, komedi—tapi jorok, dan horor—tapi jorok. Sedih, ye?
But lately, variasinya cukup nambah. Ditandai oleh Ayat-Ayat Cinta (AAC), geliat para film maker religi mulai kerasa di Indonesia. Sebut saja: Mengaku Rasul, Kun Fayakuun, Syahadat Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih (on progress). Mungkin, fenomena ini menunjukkan kalau film yang berbau Islam ternyata menarik untuk “dijual”. Mungkin juga menunjukkan betapa jenuhnya masyarakat dengan film-film yang selama ini beredar.
Bahaya yang Datang Bersama Kebahagiaan
Tapi, di samping euforia terangkatnya pamor film Islami di negara berpenduduk mayoritas muslim ini, ada kekhawatiran diam-diam melanda (deuh, kayak flu burung aja). Serius: kecemasan ini datang bersamaan dengan booming film religi, lho. Kekhawatiran yang pernah dan telah terjadi, kurang lebih, pada tren buku fiksi Islami di tanah air kita. Oke, keduanya emang nggak sama (siapa yang bilang buku dan film itu sama?). Namun, nasib yang menimpa tren buku fiksi Islami sangat mungkin terjadi pula pada tren film religi jika tidak disikapi dengan tepat.
Hadu-hadu, bingung, deh. Dari tadi, mau ngomong apa, sih?
Pemirsa… saya bicara tentang kualitas (kenapa tiba-tiba suasananya jadi angker, ya?).
Sebelum tren buku teenlit, buku blog—yang anehnya sangat suka tampil bodoh, atau buku traveling seperti sekarang, sempat ada energi besar dari penerbit-penerbit di Indonesia untuk menerbitkan buku fiksi Islami. Dari penerbit kelas bulu sampai kelas raksasa seperti Gramedia punya produk atau, mungkin, imprint khusus yang menggarap segmen ini. Wajar karena waktu itu angka penjualan buku-buku fiksi Islami sangat bagus dan menjanjikan. “Wajar” pula bila akhirnya para penerbit itu berlomba-lomba mencari naskah fiksi Islami—atau memesannya pada para penulis spesialisnya, menerbitkan, dan melemparkannya ke pasar buku nasional. Frame kerjasama antara penerbit dan penulis telah berubah dari “sebaik-baiknya” menjadi “secepat-cepatnya”. Produk-produk instan lahir prematur, cacat di sana-sini, menuai kekecewaan. Banyak buku fiksi Islami yang terlihat asal jadi, asal terbit, asal jual, tapi mahal. Pembaca mana mau!? Lambat laun buku fiksi Islami pun ditinggalkan. Dan, dalam hal ini, pihak-pihak yang ingin dapat untung malah jadi pihak-pihak yang paling dirugikan.
Sama saja dengan fenomena film religi. Kini, para produser sedang “ikhlas-ikhlasnya” merogoh kocek milyaran rupiah untuk bikin film Islami. Ngarepnya sih bisa lebih untung dari AAC. Well, produser mana sih, yang nggak ngiler ngeliat kesuksesan film AAC? Tapi, jujur saja: apakah mereka benar-benar akan peduli dengan kualitas filmnya? Ya, itu sangat mungkin. Mana ada produser yang mau kualitas filmnya jelek?
Namun, kata “kualitas” punya dimensi yang luas. Bukan hanya satu sisi yang disentuh. Kita nggak cuma ngomongin kualitas gambar, akting para pemainnya, atau musik pengiringnya, melainkan juga bicara ide ceritanya, cara film itu bertutur, adegan-adegan antar pemainnya, serta sejauh mana film itu menunjukkan identitasnya sebagai film religi.
Terus terang, kita patut khawatir dengan para produser film di Indonesia. Bukan buruk sangka, melainkan waspada. Sudah sederet bukti yang menunjukkan betapa seringnya tema Islam dibuat dangkal, picik, dan menyesatkan di tangan mereka. Membuat citra Islam jelek dan akhirnya ditinggalkan pelan-pelan.
Di masa lalu, for example, Islam selalu muncul dalam wujud kyai bersorban putih, jenggot panjang, bawa tasbih, bisa terbang, ilang, jalan di atas air, punya ilmu kayak tukang sihir (yang warnanya bisa merah, hijau, ungu, putih, tapi bukan hitam—itu khusus buat tokoh jahatnya), dan muncul paling belakang buat ngusir setan atau penutupan. Seolah-olah hanya di situlah ruang gerak Islam; tidak lebih dari sekadar klenik dan hal-hal gaib. Sangat miris bila dibandingkan dengan tujuan Islam diturunkan ke muka bumi, kan?
Hal tersebut terjadi, mungkin, karena rendahnya pemahaman para film maker tentang Islam. Atau, bisa juga karena prinsip yang “dituhankan” dalam pembuatan banyak film adalah mampu tidaknya film itu menghibur penonton. Asal penonton senang, apa saja bisa sah. Mahzab yang dipakai berasal dari kitab ulama-ulama penghibur yang memfatwakan ciuman atau pegangan tangan non mahram itu boleh-boleh saja, tokoh banci (tapi lucu) itu tidak mengapa, berpakaian seronok juga tidak dilarang. Sekali lagi, standarnya bukan Islam. Jadi, cukup tragis—tapi kejadian—untuk dikatakan: Islam, dalam kasus tersebut, obviously cuma tempelan. Islam hanya kedok, hanya dipakai untuk meraup sejumlah uang. Tidak ada itikad baik mencerahkan umat, yang ada hanya memanfaatkannya. Wadooh, film macam apa nih yang bakal lahir dari produser merek begini!?
Langkanya Film Religi yang Bercahaya
Namun, harapan akan selalu ada. Cieeh, tapi benar. Di antara film-film maker oportunis-egois-apatis itu, terselip beberapa nama yang masih menjunjung tinggi Islam sebagai ruh dari filmnya. Yang ditonjolkan bukan sensasi kosong atau murahan, tapi bagaimana Islam menjawab berbagai masalah dalam cerita film tersebut. Akan tetapi, kenapa ya, film-film yang seperti ini cenderung dijauhi penonton di Indonesia?
Contohnya: Kun Fayakuun. Film yang idenya keluar dari mulut Ustad Yusuf Mansyur ini tidak bertahan lama di bioskop. Padahal, ceritanya cukup bagus—meski terhitung standar, yaitu perjuangan sebuah keluarga miskin untuk bertahan hidup, hingga akhirnya sukses jadi orang kaya. Dalam film ini, ada banyak nasihat Islami untuk penonton. Namun, kelemahan besar dari film ini justru ada pada nasihat-nasihat yang bertaburan itu; tampil terlalu verbal dan “kebanyakan” sehingga menyebabkan para pemeran utamanya terlihat seperti ustad-ustadzah yang sedang main film. Memang, ada bagian yang bagus (eja: pesan tak verbal) di film ini, yaitu ketika Desi Ratnasari memakan nasi-nasi sisa di bakul dengan terlebih dahulu mengucapkan bismilah seraya meneteskan air mata. Adegan ini sarat pesan dan sangat menyentuh bagi saya. Sayang, “keberadaannya” di film ini harus jadi minoritas, tenggelam oleh dominasi ceramah-ceramah.
Apakah ini menunjukkan masih kurang kreatifnya para film maker Islami? Mungkin. Kenapa mungkin? Karena bisa jadi apa yang kita sebut “kurang kreatif” itu pilihan mereka. Kita tahu betul deh, gimana rendahnya pemahaman Islam di masyarakat kita. Bisa jadi verbalnya pesan yang numpuk di film Islam adalah bagian dari niat mulia para film makernya untuk berdakwah. Bahwa masyarakat kita, mostly, harus bertemu guru-guru agama untuk mengajarkan tentang Islam sesering mungkin; jadilah “guru-guru agama” itu masuk bioskop.
PIlihan ini mungkin salah, mungkin juga tidak. Yang jelas, tantangan ke depan makin susah. Di samping mendidik masyarakat agar mengerti film religi mana yang asli dan mana yang palsu, para film maker Islami yang sejati juga dituntut mengemas produk mereka dengan lebih menarik. Ya, bagaimanapun film adalah media terbatas. Tidak banyak ruang di dalamnya untuk berceramah sedetail ruang buku, kajian keislaman, atau sekolah-sekolah Islam. Film tetap film. Harus ada unsur hiburan di sana. Bukan menghalalkan segala cara—karena itu akan menghilangkan kata “religi” setelah kata “film”. Memang semakin banyak batasan, tapi di sanalah terletak the big challenge: bagaimana menghibur tapi tetap sesuai dengan syariat Islam?
Bukan tugas yang mudah, tapi karya berbobot memang lahir dari kedalaman berpikir dan kerja cerdas. Berlian nggak jadi berlian dalam satu malam, bukan?
No comments:
Post a Comment