News Update :

Obama Anak Menteng

picture of a pumpkinSebenarnya, keputusan Multivision Plus Pictures untuk memilih memfilmkan empat tahun masa kecil yang dihabiskan oleh Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama, di Indonesia, bukanlah sebuah masalah besar. Bahkan jika mereka memilih untuk memfilmkan masa kecil tokoh-tokoh dunia lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan Indonesia, tetap bukanlah sebuah masalah besar. Yang menjadi masalah pada film ini adalah cara produsen film ini memperlakukan penonton yang menjadi pangsa pasar mereka dengan sangat tidak adil.

Multivision Plus Pictures, seperti halnya beberapa produsen film lainnya, menganggap film-film yang ditujukan untuk pangsa pasar keluarga dan anak-anak adalah film yang sangat mudah untuk dibuat. Mereka kemungkinan beranggapan penonton dari kalangan ini hanyalah sekelompok penonton yang menyimak cerita yang dihadirkan pada mereka tanpa memperhatikan berbagai detil teknis dan produksi yang berada di sepanjang film. Hasilnya, bahkan beberapa film drama yang dihasilkan oleh Nayato Fio Nuala — yang sering digelari sebagai sutradara film Indonesia terburuk — mampu tampil lebih baik dari film Obama Anak Menteng ini.




picture of a pumpkinS I N O P S I S
Dalam film yang naskahnya seperti terlalu keras mencoba untuk meng-Indonesia-kan Obama ini, Obama kecil (Hasan Faruq Ali), berusia 9 tahun dan baru saja pindah bersama ibunya, Ann Dunham (Cara Rachelle), dan ayah tirinya, Lolo Soetoro (Eko Nuh), ke daerah Menteng, Jakarta, harus melalui hari-hari yang sulit dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tidak hanya di lingkungan rumahnya, penampilannya yang berambut ikal dan berkulit hitam juga membuatnya sedikit merasa diasingkan oleh teman-teman di lingkungan sekolahnya. Walau begitu, secara perlahan-lahan, Barry — nama panggilan Obama — mulai mendapatkan sahabat dan teman-teman bermain, yang sayangnya, harus berakhir karena sang ibu berpendapat bahwa Barry seharusnya berada di tempat yang dapat memberikannya tingkat pendidikan dan ilmu pengetahuan yang lebih luas lagi daripada di Indonesia.

Kesalahan utama dari film ini adalah kurangnya persiapan John De Rantau dan Damian Dematra, sebagai sutradara film ini, dalam mempersiapkan jajaran pemerannya. Obama Anak Menteng didukung oleh barisan pemeran cilik yang memiliki kemampuan akting yang sangat, sangat terbatas. Tidak mengherankan, pada banyak bagian di film ini, penonton akan merasa seperti sedang menyaksikan penampilan dari sebuah drama sekolah yang para pemainnya tidak sempat untuk melatih adegan dan dialog mereka: penuh kekakuan dan tidak terciptanya ritme yang pas antara satu pemain dengan yang lainnya.

Kalau Anda masih merasa mampu memaafkan kemampuan akting para pemain cilik yang masih terbatas, entah bagaimana cara Anda untuk dapat memaafkan kemampuan para pemain dewasa di film ini. Lihat saja kemampuan akting dua pemain dewasa yang paling dominan, Cara Lachelle yang berperan sebagai ibunda Obama, Ann Dunham, dan Eko Nuh yang berperan sebagai ayah tiri Obama, Lolo Soetoro. Akting Cara Lachelle sama sekali tidak ada bedanya dengan para pemain cilik yang hadir di film ini. Penuh kekakuan dan sangat tidak nyaman untuk disaksikan. Sementara untuk Eko Nuh… pria yang satu ini sepertinya terlalu memaksakan peran sebagai seorang ayah yang bijaksana untuk meresap kepada dirinya. Sayangnya, ayah yang bijaksana tidak melulu selalu tersenyum dan berkata-kata dengan lembut (baca: mendesah) ketika berdialog dengan anaknya seperti yang ditampilkan Eko. Lihat adegan ketika karakter Lolo sedang mengajarkan tinju kepada Obama. Sebegitu halus dan lembutnya (baca: mendesah) Eko Nuh dalam melafalkan dialognya, jika Anda memejamkan mata, Anda pasti sedang membayangkan bahwa Anda sedang menyaksikan sebuah film erotis di hadapan Anda.

Tentu saja, kita tidak akan melupakan kehadiran aktor yang memiliki popularitas yang sedikit lebih terkenal dari pemeran lainnya, Teuku Zacky, dalam film ini. Dalam Obama Anak Menteng, Teuku Zacky berperan sebagai Turdi, seorang pria yang bersifat kewanita-wanitaan dalam kesehariannya. Entah karakter ini benar-benar ada dalam kehidupan nyata Obama, namun melalui apa yang ditampilkan oleh Teuku Zacky di film ini, mungkin Lolo Soetoro dan Ann Dunham tidak seharusnya mempercayakan Obama kecil di tangan Turdi. Melalui aktingnya yang ‘terlalu menghayati’ dan ditambah celana pendek yang selalu dikenakannya, Teuku Zacky tampil sangat mengganggu di sepanjang film.

Entah mengapa film ini sepertinya terlalu berusaha untuk menarik perhatian penontonnya agar dapat mencintai Obama sebagaimana ia adalah seorang pahlawan yang benar-benar berasal dari Indonesia. Mulai dari penceritaan bahwa karakternya adalah satu-satunya murid yang dapat menghafal isi Sumpah Pemuda diantara murid-murid lainnya, sifat dan dialognya yang sangat ‘dewasa’ dan ‘bijaksana’ hingga berbagai dialog dari karakter teman-temannya yang seperti merujuk bahwa Obama ketika dewasa akan menjadi seorang presiden — yang beberapa kali mengalami pengulangan — rasanya membuat karakter Obama menjadi terlalu mengada-ada. Ini masih ditambah dengan banyaknya dialog dan naskah yang sepertinya terlalu berusaha untuk menjadikan Obama Anak Menteng menjadi sebuah film yang inspiratif.

Walau begitu, anehnya, tiba-tiba di tengah film, Obama Anak Menteng malah menyempatkan diri untuk mengalihkan ceritanya ke cerita salah seorang karakter pendukung. Mungkin bermaksud untuk menambahkan sisi komedi dari film ini, namun yang jelas, untuk sebuah film yang jelas-jelas diperuntukkan untuk keluarga dan anak-anak, rasanya sangat tidak lazim untuk menyuguhkan adegan dua orang pria yang bertengkar mulut karena salah satu diantaranya cemburu dengan kedekatan pria yang lain dengan seorang wanita. Ini belum lagi ditambah dengan sebuah adegan yang memperlihatkan seorang pria meyakinkan seorang wanita untuk tidur sekamar dengan dirinya karena ia ‘menjamin’ bahwa dirinya ‘tidak tertarik’ dengan wanita tersebut. Apakah itu definisi lucu yang dapat disampaikan oleh penulis naskah film ini?

Secara keseluruhan, jika ada yang hendak memberikan nilai positif pada Obama Anak Menteng, maka satu-satunya sisi yang dapat diberikan ganjaran positif tersebut adalah tim art direction yang dapat dikatakan berhasil dalam menyusun suasana lingkungan di tahun ’60-an. Namun, tetap saja, dengan segala bentuk kekurangan yang terjadi di berbagai sisi film ini, hal tersebut sama sekali tidak akan membantu para penonton untuk dapat menikmati film ini. Mungkin, penonton muda, yang memang menjadi sasaran utama perilisan film ini, masih dapat menikmati jalan cerita yang dihadirkan. Tapi apakah film-film berkualitas ‘kerdil’ begini saja yang harus selalu dihadirkan kepada para penonton muda kita?

No comments:

Post a Comment

 

© Copyright GALAXS212 2010 -2011 | Design by Den Rozak | Published by Site Den Rozak | Powered by Blogger.com.