Film Minggu pagi di victoria park ini dibintang oleh Lola Amaria (Mayang) dan Titi Sjuman (Sekar). Film ini merupakan film drama dan disutradarai oleh Lola Amaria.
Minggu Pagi di Victoria Park berangkat dari kisah nyata para TKI di Hong Kong. Di sana digambarkan hidup para buruh migran, dari tempat pelatihan hingga cobaan hidup yang mereka alami di negara tujuan.
Adegan dalam film berisi problematika dan realitas kehidupan para TKI. Dari kesulitan mencukupi kebutuhan hidup, menahan kesepian, sampai cobaan menghadapi pengaruh lingkungan budaya asing. Jika salah bergaul, bukan tak mungkin, mereka bakal terjerumus dalam limbah hitam prostitusi atau penyimpangan lainnya.
Victoria Park adalah tempat, di mana para TKW berkumpul setiap akhir pekan. Di taman itu, mereka berbagi kisah hidup dengan teman seperjuangan maupun orang-orang terdekat.(ULF)
S I N O P S I S
“Indonesia mini” ada di Victoria Park, Hongkong, di setiap hari Minggu. Ribuan pekerja berkumpul disana. Bercengkrama, sekedar bersenda gurau hingga bersantap bersama. Tak jarang diantara mereka juga ada yang memanfaatkan dengan membuka usaha sampingan, misalnya jasa pijat hingga menjajakan masakan khas nusantara.
Taman seluas 4 hektar itu pun menjadi simbol yang akrab dengan kehidupan para pekerja, sebagian besar diantaranya perempuan. Dan simbol itu dipilih dengan cerdik oleh Lola Amaria sebagai judul cerita yang dibesutnya.
Minggu Pagi Di Victoria Park pun menjadi sebuah film yang penting. Punya urgensi untuk dibuat. Lola juga menyadari itu, karenanya ia mencoba membuat kisah yang mendekati aslinya, dengan detil demi detil yang patut dipujikan. Ia memotret kehidupan pekerja disana, dengan segala masalah yang melingkupinya, tidak lebih dan juga tidak kurang. Sampai disini kita melihat upaya dan niat tulus dari Lola untuk mendokumentasi sekeping kisah para pekerja yang tak selamanya manis. Sebagian besar dari mereka rela meninggalkan kampung halaman demi mimpi mengejar kehidupan yang lebih baik.
Sekeping kisah itu berpijak pada dua sosok TKW yang kebetulan kakak – adik, Mayang (Lola Amaria) dan Sekar (Titi Sjuman). Mulanya Lola memperkenalkan Sekar. Belum apa-apa, penonton terkaget-kaget ketika melihat Sekar “nekat” menjajakan jasa menemani tamu di sebuah bar. Sedari awal, Sekar sudah diperlihatkan seperti punya beban besar dalam menjalani hidupnya. Seiring pertambahan durasi film, tahulah kita problem yang menimpa Sekar. Rupanya ia punya utang besar pada sebuah lembaga mirip bank yang sesungguhnya berpraktek ala rentenir. Memberi kemudahan pada para pekerja demi mendapat pinjaman uang, namun mencekik leher mereka dengan bunga harian yang luar biasa besar. Sekar pun seperti menabrak tembok besar maha tinggi yang tak bisa dipanjatnya.
Mayang yang ke Hongkong dengan titipan tugas dari sang ayah untuk mencari sang adik awalnya ogah menemui Sekar. Lewat adegan kilas balik yang efektif tahulah kita bahwa sang kakak cemburu pada sang adik karena ayah mereka memperlakukan berbeda. Sekar selalu dipuji karena bisa mengirim uang dalam jumlah besar ke kampung sehingga bisa digunakan memperbaiki rumah dan mencicil motor. Padahal sang ayah tak tahu bahwa karena itulah justru Sekar terlilit utang.
Ada rasa perih di hati menyaksikan kisah Sekar. Skenario yang ditulis dengan baik oleh Titien Wattimena (bisa jadi sebagai skenario terbaik yang pernah dihasilkannya setelah Mengejar Matahari) ini menjadi efektif dan efisien di tangan Lola. Riset yang cukup panjang membuat Lola terlihat menguasai materi yang dipunyainya. Tak ada dramatisasi berlebihan, tak ada upaya keras menguras air mata penonton, padahal sebenarnya kisahnya memungkinkan hal itu. Ini yang harus dipujikan dari Minggu Pagi Di Victoria Park. Ada keinginan kuat untuk menahan diri demi menghasilkan film yang mendekati realitas yang sebenarnya.
Realitas itupun makin terasa dengan permainan cemerlang dari hampir semua pendukung filmnya, termasuk Donny Alamsyah, Donny Damara dan beberapa wajah baru yang terlihat asing di mata kita. Menarik melihat bagaimana mereka menyatukan diri dengan karakter masing-masing. Bahkan Titi yang aslinya cantik dan tak berwajah “kampung” bisa juga meyakinkan sebagai TKW.
Dan tentu saja keplokan paling keras mesti dialamatkan pada Lola Amaria. Tanpa perlu menjadi duta atau apapun sebutannya, film ini jelas sekali menunjukkan sikap Lola pada perjuangan TKW. Tak hanya di Hongkong, namun juga di ujung dunia manapun. TKW yang menjadi sumber devisa dan menjadi tulang punggung ratusan ribu keluarga di tanah air.
Victoria Park pun menjadi saksi atas kerja keras mereka. Maka setiap hari Minggu, rasa rindu tertumpah disana ………
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment