Novel laskar pelangi karya Andrea Hirata, yang disusul dengan tiga novel berikutnya ( Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov ), menimbulkan berbagai reaksi dari pembacanya. Penerimaan yang antusias dari penikmat novel di Indonesia, di pertanyakan oleh sebagian orang yang menggeluti sastra di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam buku Laskar Pemimpi; Andrea Hirata pembacanya dan modernisasi Indonesai yang ditulis oleh Nurhady Sirimorok. Dalam Bukunya, Nurhady mempertanyakan kepada pembaca mengapa karya tersebut menjadi karya yang sangat di gemari padahal dipenuhi dengan berbagai kecacatan dalam sudut pandang kesusastraan
Dari buku tersebut, terlihat penulis bukanlah salah satu pengagum dari karya-karya Andrea. Akan tetapi Nurhady mencoba memperlihatkan kepada pembaca dari sudut pandang yang berbeda. Berbagai kecacatan dalam karya Andrea Hirata serta bagaimana reaksi para pembacanya, di sajikan dan diulas dengan menggunakan analisa teoritik. Dalam buku Laskar Pemimpi; Andrea Hirata pembacanya dan modernisasi Indonesia. Penulis juga menyajikan pandangannya mengenai semangat modernisme yang melekat dalam novel Andrea.
Standar-standar kehidupan yang digunakan Andrea dalam novelnya digambarkan sebagai standarisasi yang diusung oleh paham modernis. Suatu standar kehidupan yang menurut penulis dapat menjadikan pembacanya terjebak dalam mimpi akan kesuksesan yang ditawarkan dalam novel tersebut. Lebih lanjut, dalam buku laskar pemimpi juga menjelaskan bagaimana alur modernisme masuk dan berkembang di Indonesia. Serta bagaimana paradigma modern mengubah sikap dan perilaku orang-orang di Indonesia
Buku tersebut juga menyajikan kepada kita, bagaimana pandangan oreantalis sangat mempengaruhi Andrea dalam mendeskripsikan kebudayaan di Indonesia. Hal ini terlihat dalam pandangan Andrea dalam mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam novelnya. Bagi para pembaca yang ingin mendapatkan pandangan berbeda dari karya-karya Andrea Hirata. Laskar Pemimpi; Andrea Hirata Pembacanya dan Modernisasi Indonesia, merupakan buku yang wajib untuk dibaca.
Peringatan kemerdekaan Republik ini memang sudah lebih dari sebulan berlalu tetapi melalui film-film bertema perang kemerdekaan, semangat nasionalisme itu coba dibakar kembali. Setelah sekuel Merah Putih, Darah Garuda, hadir lebih dahulu di awal bulan September, kali ini sebuah film karya Monty Tiwa, “Laskar Pemimpi”, ikut mengangkat senjata dan “bergerilya” di bioskop-bioskop tanah air. Berbeda dengan film-film bertema serupa, pendekatan yang diambil Monty adalah dengan menggabungkan unsur action dengan komedi untuk hadir diantara drama perang yang berlatar belakang agresi militer Belanda di tahun 1948 dan serangan umum 1 Maret 1949. Sutradara yang sebelumnya menyutradarai film horor “Keramat” ini juga membalut film perangnya dengan sentuhan musikal, jadi Tika dan kawan-kawan dari Project Pop tidak hanya akan “berjuang” untuk berakting lucu tapi juga menyuguhkan kepiawaian mereka dalam menghibur lewat lagu.
“Laskar Pemimpi” berkisah tentang sekelompok laskar pejuang amatir berlatar belakang yang beragam, mereka adalah Sri Mulyani (Tika Project Pop), gadis desa Maguwo yang lugu dan gemar tidur, Udjo (Udjo Project Pop) seorang keturunan ningrat yang manja, Tumino (Gugum Project Pop) peternak bebek dan Ahok (Odie Project Pop) seorang pedagang kecil keturunan Tionghoa. Mereka bergabung dalam pasukan gerilya pimpinan Kapten Hadi Sugito (Gading Marten) setelah menjadi korban agresi militer Belanda ke-2 bulan Desember 1948. Dalam pasukan pejuang yang bermarkas di desa Panjen ini, Sri dan kawan-kawan bertemu dengan Toar (Yosi Project Pop) seorang pejuang asal Manado yang bermata rabun, Kopral Jono (Dwi Sasono), playboy kelas teri yang pangkatnya sudah sering diturunkan oleh Kapten Hadi.
Mereka semua ternyata ditakdirkan untuk berjuang bersama-sama, apalagi ketika pasukan Belanda yang dipimpin Letnan Kuyt menyerang desa Panjen lalu menangkap Wiwid (Shanty), pacar Udjo, dan Yayuk (Masayu Anastasia) yang tidak lain adalah kekasih Jono sang kopral playboy. Mengesampingkan perintah atasan mereka untuk bersiap-siap dalam sebuah serangan besar-besaran ke kota Yogjakarta, Kopral Jono dan yang lain terlebih dahulu merencanakan misi penyelamatan Wiwid, Yayuk, dan ayah Sri yang sama-sama ditawan Belanda. Beruntung mereka berhasil menahan salah-satu pasukan Belanda, Once (Oon Project Pop), walau mengalami gegar otak akibat menerima tinju Sri tetapi masih sanggup memberikan informasi berharga keberadaan markasnya. Dari informasi inilah, kelompok pejuang memulai operasi rahasianya, berhadapan dengan segala rintangan dan juga teman-teman lain sesama pejuang. Berhasilkah mereka menyelamatkan orang-orang yang mereka sayangi dan sanggupkah pejuang kita bergabung kembali dengan pasukan Kapten Hadi untuk bergabung dalam serangan umum 1 Maret?
Sinopsis film diatas memang akan terlihat seperti sajian film perang yang serius, namun sebaliknya Monty menyuguhkan sebuah film perang yang bisa dibilang tidak serius. Tentu saja karena tema yang dipilih pun komedi, wajar jika menempatkan porsi lelucon dibarisan depan sebagai daya jual film ini. Langkah tersebut didukung oleh jajaran para pemain, salah-satunya dengan memboyong grup yang sudah terkenal dengan guyonan-guyonannya, yaitu Project Pop. Tapi apakah berhasil mendongkrak tingkat komedi yang diharapkan? saya bisa bilang tidak terlalu. Film ini serba tanggung, ketika fokus film ini memang ingin terlihat lucu (hmm), sepertinya unsur perang dan action-nya sendiri jadi disesuaikan untuk menjadi menggelikan dan konyol. Mau lucu boleh saja, tapi apakah harus memangkas kualitas filmnya sendiri, walau komedi, jika film yang tayang pada 30 September ini punya niat “serius” menyulap setting-nya jadi benar-benar bernuansa tahun 40-an akhir, bukankah itu jadi nilai plus sendiri. Selain penggunaan bahasa yang memang campur aduk (tidak disesuaikan dengan tahunnya), filmnya sendiri “ogah-ogahan” untuk menampilkan aksi perang yang setidaknya terlihat memang sedang perang.
Sebagai gantinya setiap adegan perangnya akan seperti kumpulan anak kecil bermain perang-perangan lengkap dengan pistol air, oke adegan perangnya sudah penuh dengan coretan merah, action-nya juga lagi-lagi dipaksa untuk konyol untuk menyokong rasa humor film ini. Tapi apakah semua elemen tersebut berhasil menjadikan film ini menjadi lucu? saya rasa tidak. Saya malah seperti sedang melihat video Project Pop versi lebih panjang, yah saya tahu mereka lucu tapi sebatas hanya itu-itu aja, saya sering melihat mereka lebih lucu di televisi daripada di film ini. “Laskar Pemimpi” hanya mendaur-ulang humor-humornya, lelucon kadaluarsa yang ditodongkan pada setiap penontonnya, lalu memaksa saya menyerah begitu saja untuk tertawa. Sayangnya “ranjau-ranjau” yang diharapkan dapat menjebak dan meledakkan kelucuan yang menyegarkan itu gagal, film ini pun gagal membuat saya mengibarkan bendera putih karena tidak kuat menahan tawa, karena toh memang tidak ada yang perlu ditertawakan disini. Beruntung saya masih bisa terhibur dengan unsur musikal yang diselipkan diantara komedinya yang tidak lucu, para pejuang ini lebih enak didengar ketika bernyanyi ketimbang berakting lucu. Setidaknya film ini masih punya hiburan yang bisa saya nikmati dan mencegah saya untuk menyerah dan lalu tertidur pulas. Merdeka!
No comments:
Post a Comment