Ada yang bilang, Trilogi Merdeka yang mengusung judul Merah Putih ini adalah film perang Indonesia dengan gaya Hollywood. Ah, tak seperti itu juga, namun kalau krunya yang diimpor memang orang-orang yang malang-melintang di film-film Hollywood, blockbuster pula, itu memang benar. Sayangnya, rekord gede di film-film seperti Gladiator, Saving Private Ryan, Black Hawk Down dan seabrek lagi yang dipromokan besar-besaran, tak membuahkan hasil yang memadai di gebrakan pertamanya. Merah Putih I tampil bahkan tak lebih dari sejumlah film-film perang Indonesia tahun 80an yang remarkable dari Kereta Api Terakhir, Janur Kuning bahkan Pasukan Berani Mati yang punya kemiripan premis dari interaksi antar sukunya. Saya tak mempermasalahkan bahasa baku dalam kepentingan translated scriptnya, tentunya, karena timelinenya mengambil sejarah, sejauh sedikit kepeleset menggunakan bahasa-bahasa modern disana, ini sah saja. Namun di sekuelnya, Darah Garuda, beberapa kesalahan itu berhasil diperbaiki. Tak hanya adegan perang yang lebih realistis, beberapa adegan ledakannya juga cukup eksplosif. Feel adventurous karakter-karakternya juga lebih terasa dengan chemistry yang makin membaik. Toh sejarah hanya mengambil tempat sebagai latar, sedangkan karakter-karakternya fiktif. So, Hati Merdeka sebagai penutup sudah seharusnya mengundang ekspektasi yang lebih lagi. Tapi…
Dibuka dengan opening scene bak film-film James Bond, dimana tokoh-tokoh kita ini sedang menjalankan sebuah misi di sebuah klub Belanda, sebagian bersiap dengan senjata dari jauh dan sebagian lagi menyamar sebagai pelayan, Hati Merdeka sudah dimulai dengan sangat menarik. Konflik awalnya pun digelar dengan meyakinkan, dimana Kapten Amir (Lukman Sardi) harus mengambil keputusan terberat saat Budi (Aldy Zulfikar), sniper kecilnya tertangkap oleh Belanda. Perseteruannya dengan Tomas (Donny Alamsyah) pun makin meruncing, apalagi dengan keributan yang ditimbulkan Tomas dkk dengan Kapten Sofwan (Arifin Putra) di luar pengetahuan Amir. Saat misi berikutnya menugaskan pasukan elit ini ke Bali untuk membunuh Kolonel Raymer (Michael Bell, RIP last April), komandan Belanda yang terkenal kejam dan pernah membunuh keluarga Tomas, Amir pun mengundurkan diri karena misi membunuh secara pribadi dan didasari dendam dianggapnya bertentangan dengan prinsipnya. Maka dibawah komando baru Tomas, Marius (Darius Sinathrya), Dayan (T. Rifnu Wikana) dan Senja (Rahayu Saraswati) melanjutkan perjuangan mereka tanpa Amir. Setelah menghadapi serbuan Belanda ke kapal yang mereka tumpangi, di Bali mereka bergabung dengan tentara rakyat dibawah pimpinan Wayan Suta (Nugie) bersama Dayu (Ranggani Puspandya) yang keluarganya baru dibantai Raymer serta membuat Marius terluka parah. Amir ternyata juga akhirnya menyusul kesana setelah menyadari kekeliruannya meninggalkan rekan-rekannya. Misi menghadapi Raymer pun berlanjut, namun Amir tetap mempunyai misi untuk menghentikan kekejaman dengan tetap setia di jalan perjuangan revolusi mereka.
Menempatkan penutup trilogi yang seharusnya tampil sebagai klimaks yang lebih dari film-film sebelumnya, sayangnya tak dihandle dengan plot dan skenario yang serba mendukung. Alih-alih menonjolkan revolusi mengusir penjajah dari tanah Indonesia, duet penulis ayah dan anak Rob dan Conor Allyn justru menyorot tokoh villain-nya secara personal, yang justru semakin menyusutkan tema revolusinya. Sudah begitu, Hati Merdeka dengan terang-terangan memasukkan resep gampang ala Hollywood yang serba unlikely dan ridiculous tanpa kewajaran yang pas demi mempertahankan karakternya dengan cara seenaknya. Di saat karakter penting langsung mampus dan hangus saat terkena pecahan ledakan bom, karakter utamanya justru tetap aman-aman saja tanpa kurang suatu apa. Luka yang luarbiasa ditunjukkan dengan parah pun bisa dihandle dengan sebuah keyakinan. Ah, ini sedikit keterlaluan. Fiktif boleh saja fiktif, bahkan dengan tujuan pesan moral konflik antar suku dan agama, tapi sedikit keseimbangan akan terlihat jauh lebih wajar, apalagi ada kewajiban timeline yang sesuai dengan sejarah disana.
Belum lagi dengan bongkar pasang kepentingan karakter yang mungkin tujuannya menciptakan sedikit keadilan ke karakter-karakter yang ada, namun salah kaprah, serta memilih hanya satu daerah yang disorot dalam kepentingan sebuah finale. Sempalan kisah traumatik Raymer yang karakternya digambarkan kelewat komikal seperti villain film-film action murahan juga lewat dengan sia-sia. Hati Merdeka pun semakin kehilangan tujuannya menuju bagian-bagian akhir yang tak juga bisa diperbaiki sebagaimana harusnya. Konflik yang disempalkan diantara karakternya juga sedikit banyak malah mengurangi chemistry yang di Darah Garuda sudah terbangun hampir sempurna. Mungkin mereka lebih baik menukar urutan antara Darah Garuda dengan Hati Merdeka atas pencapaian feel keseluruhannya. Hanya akting yang masih konsisten dari para pendukung utamanya, plus Nugie yang tampil cukup menarik sebagai pendatang baru dalam akting layar lebar, yang bisa sedikit menyelamatkan Hati Merdeka, berikut adegan perang yang hadir semakin intens, termasuk adegan perang di laut yang terus terang, jarang-jarang bisa kita saksikan di film-film perang kita. Tujuannya untuk sebentuk rasa nasionalisme bisa jadi cukup kuat disamping tetap sebagai sebuah breakthrough dalam genre perang yang semakin jarang menghiasi sinema kita. Tapi selebihnya, sebagai sebuah finale yang seharusnya tampil paling klimaks, Hati Merdeka tak bisa tampil sehebat judulnya. (dan)
No comments:
Post a Comment