JAKARTA - Kegiatan Asean Film Festival (AFF) 2011 yang kembali digelar di Bali, 16-17 November akan mengusung tema 'Asean: The Global Film Connection'.
Rencananya, AFF kali ini akan dimulai dengan acara pemutaran 10 film pilihan dari masing-masing negara anggota Asean. Seminar yang dibahas berbagai isu perfilman dalam lingkup Asean serta resepsi red carpet dan gala dinner.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu berharap event ini yang dibuat untuk memperkuat socio cultural. Serta untuk sharing budaya yang ada di masing-masing negara.
Acara ini untuk sharing mengetahui budaya seperti ada kuliner, musik, termasuk Asean Film Festival," kata Mari saat ditemui di Gedung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kamis (10/11/2011).
Mari juga menekankan, agar penyelenggaraan AFF ini berjalan lancar dan sukses. Alasannya, untuk membuat nama Indonesia dicatat dalam sejarah perfilman di kawasan regional Asean. Selain itu, agar kerjasama di bidang perfilman akan semakin meningkat.
Melalui AFF ini, Indonesia ingin memperluas kerjasama, membagi informasi, karena kita memiliki potensi yang sangat banyak untuk bisa dijadikan sebagai negara tujuan lokasi syuting. Usaha ini dimaksudkan agar melalui film Indonesia dapat dipromosikan lebih gencar lagi, dan pada gilirannya akan menarik minat wisman untuk berkunjung ke Indonesia," tambah Mari.
Dalam AFF kali ini film film yang akan diputar di antaranya, Eternity karya sutradara M.L Pundhevanop Dhewakul (Film Terbaik Thailand National Film Awards 2011), EMIL karya sutradara Philipines ( Film terbaik Film Academy of Philipines, 2011), dan Buhonan karya sutradara Dain Said. Film Malaysia yang paling banyak diekspor ke mancanegara dan baru saja diputar di salah satu festival bergengsi di dunia, Toronto International Film Festival 2011.
Sebagai tuan rumah, Indonesia sendiri akan diwakili oleh Di bawah Lindungan Ka'bah karya sutradara Hanny R Saputra.
Seandainya saja product placement (iklan dalam film) tidak berseliweran kesana kemari. Seandainya saja tidak ada dubbing yang menggelikan. Seandainya saja subtitle Inggris yang disisipkan tidak ngawur dan menggunakan susunan gramatikal yang baik. Seandainya saja aksentuasi para tokoh patuh pada setting tempat. Seandainya saja tulisan 'based on Buya Hamka's novel' pada poster dihilangkan dan diganti menjadi 'adaptasi bebas'. Seandainya saja tidak ada sesumbar yang mengatakan bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah diberi kucuran dana raksasa sebesar Rp 25 Miliar dan digadang-gadang sebagai 'Titanic versi Indonesia'. Di Bawah Lindungan Ka'bah mungkin saja menjadi film yang memuaskan banyak kalangan. Seperti yang diucapkan Emak (Yenny Rachman) kepada Hamid (Herjunot Ali), "makin tinggi harapan, makin sakit jatuhnya." Dengan janji-janji manis yang ditawarkan, tentu tidak mengherankan jika kemudian penonton berharap banyak terhadap karya terbaru Hanny R. Saputra ini. Apalagi versi novelnya merupakan salah satu karya sastra lokal terbaik dari salah satu sastrawan terbaik dalam angkatan pujangga Balai Pustaka. Ekspektasi pun membuncah.
Pada tahun 1981, Asrul Sani telah mengadaptasi bebas novel Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film berjudul Para Perintis Kemerdekaan. Alih-alih memilih untuk setia 100% pada novel Hamka tersebut, film justru dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah tanpa menghilangkan esensi dari cerita. Misi Asrul Sani berjalan sukses dan dihadiahi banyak puja puji dari berbagai kalangan. Hanny R. Saputra tidak mengikuti jejak Asrul Sani dan tetap teguh pada ciri khasnya. Dibantu oleh dua penulis skenario langganannya, Armantono dan Titien Wattimena, Di Bawah Lindungan Ka'bah menjelma menjadi sebuah film metal alias mellow total. Sepanjang durasi film, saya mencatat hanya ada satu adegan Hamid dan Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tak melibatkan air mata, yakni ketika mereka saling sapa dari balik pagar kayu. Sialnya, adegan yang seharusnya bisa manis itu tercoreng lantaran durasinya yang kelewat lama dan dubbing yang sangat kasar. Saya pun langsung mual dibuatnya.
Menerjemahkan sebuah novel dengan halaman yang tipis (konon, novel Hamka ini hanya setebal 66 halaman) ke dalam layar lebar sama susahnya dengan mengejewantahkan tulisan beratus-ratus halaman. Untuk mengakalinya, Armantono dan Titien pun menambahkan sejumlah konflik yang tidak ditemukan dalam novel. Konflik yang sangat dramatis, menghadirkan kenyataan hidup yang pahit. Bagaimanapun juga, Hamid dan Zainab tidak akan pernah bisa disatukan. Plot kreasi duo penulis naskah ini diyakini mampu menguras air mata penonton. Tak peduli sekonyol apapun pengarahan Hanny R. Saputra dan bagaimana logika penonton tersakiti, air mata penonton perempuan akan tetap tumpah. Bukan bermaksud genderisasi, namun seperti inilah kenyataannya. Saya menyaksikannya sendiri. Begitu pula ketika saya menyaksikan film dengan dramatisasi yang gagal, Surat Kecil Untuk Tuhan. Walau begitu, Di Bawah Lindungan Ka'bah tercatat beberapa kali sukses membuat saya terharu. Bukan perihal kisah cinta tak sampai Hamid dan Zainab, namun seputar hubungan Hamid dengan ibunya. Akting Yenny Rahman sungguh memukau. Herjunot Ali juga mampu mengimbangi akting artis senior ini dengan apik. Ada chemistry diantara mereka berdua. Apabila saya diminta untuk memaknai arti dari ironis, maka itu adalah Laudya Cynthia Bella yang tidak nyambung dengan Herjunot Ali. Lempeng. Menunjukkan sebuah romantisme yang banal.
Bersetting di tahun 1920-an di Sumatera Barat, Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah mengenai dua sejoli yang sedang dirundung asmara namun terpaksa tak bisa bersatu karena perbedaan kelas sosial. Konflik memuncak tatkala Hamid melakukan sesuatu yang dianggap tak pantas kepada Zainab hingga dirinya diusir dari kampung. Untuk menghidupkan nuansa Minangkabau pada zaman dahulu, dibangun set yang megah plus tidak ketinggalan kincir air ciri khas sang sutradara. Sinematografi arahan Rachmat Syaiful sanggup menghadirkan gambar-gambar cantik yang menyejukkan mata. Special Effects yang dipakai pun layak diacungi jempol, sekalipun penggunaannya di adegan terakhir kentara sekali palsunya. Jika ada yang mengganjal di hati saya selain tidak adanya chemistry, dubbing plus subtitle yang membuat kepala terasa cenat cenut dan product placement yang muncul seenak udel, maka itu adalah aksentuasi dari para pemain. Saya sebenarnya sudah bosan membahas masalah ini karena ini adalah sesuatu yang klise namun tak ada upaya dari para sineas untuk membenahinya. Apakah bujet sebesar itu tidak sanggup untuk mendatangkan dialect coach? Terkadang terdengar sangat Jakarta, terlalu Sunda atau malah campur baur. Semrawut. Bukti bahwa sineas kita masih menyepelekan detail. Pada akhirnya upaya untuk menjadikan Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film romantis yang megah layak untuk diapresiasi. Masih banyak ditemukan kekurangan, tapi jelas merupakan suatu kemajuan dibanding film sejenis semacam Ayat-Ayat Cinta dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Sebenarnya Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah sebuah film yang berpotensi menjadi sebuah suguhan yang apik, namun ternodai oleh keteledoran tim produksi yang kurang cermat dalam mengurus detail. Sungguh disayangkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment