News Update :

Dawai 2 Asmara

picture of a pumpkinDangdut itu misterius…” , celetuk seorang teman, di tengah obrolan sehabis menonton film Dawai 2 Asmara. Menurutnya, musik selalu punya emosi yang jelas di didalamnya. Semacam emosi marah yang dibawakan dengan menghentak pada metal, atau emosi sedih pada lagu yang dibawakan dengan hening dan sendu. Tapi Dangdut, jauh berbeda.

Melampaui karakter Haura, seorang mahasiswa dari Australia dalam film Dawai 2 Asmara, teman saya ini punya ketertarikan yang dalam tentang kemesteriusan Dangdut. Teman saya sangat tidak mengerti sebenarnya dangdut itu membawa emosi apa. Coba, Bagaimana mungkin emosi sedih semacam kemarahan karena dilecehkan laki-laki (dalam lagu Keong Racun, misalnya) masih bisa dibawakan dengan meriah (dan berjoged)? Atau ketika orang masih bisa merayakan kemalangan seorang istri yang ditinggal suami dalam Bang Toyib dengan goyang jempol? Betapa tidak sinkron! Dan kenapa orang Indonesia kebanyakan tidak bisa lepas dari Dangdut dalam berbagai perayaan, meski musik yang satu ini sungguh membingungkan?




picture of a pumpkinSebuah misi besar bernama revolusi

Dikisahkan seorang mahasiwa dari Australia datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai Dangdut dan komunitasnya di Indonesia. Sebuah pernyataan tentang sangat pentingnya Dangdut di Indonesia, bagi penulis Skenario, Asep Kusdinar. Sehingga dikisahkan juga seorang anak dari raja Dangdut, Ridho (Ridho Rhoma memerankan dirinya sendiri), dipanggil dari Australia, meninggalkan kuliahnya untuk suatu misi besar. Sebuah misi mulia untuk menyelamatkan dangdut dari keterpurukan. Sebuah Revolusi, tugas besar yang pernah dilakukan ayahnya, Rhoma Irama (sebagai dirinya sendiri), seorang Legenda Dangdut, di dekade 70-an.

Adanya karakter Haura di awal film, pelajar dari luar negeri yang (menurut saya, lazimnya) punya standar penelitian yang tinggi datang khusus untuk meneliti Dangdut, menjual harapan yang cukup besar kepda penonton. Bahwa sepanjang film ini penonton akan disuguhi narasi yang meyakinkan tentang Dangdut dan posisinya di mata masyarakat Indonesia, itulah harapannya. Harapan yang sungguh besar, seperti Ridho yang dijatuhi harapan besar dari Bang Haji si Raja Dangdut (yang memerankan dirinya sendiri juga) untuk melakukan Revolusi ke-dua . Rupanya, di tengah misi besar tersebut, Ridho juga harus berurusan dengan cinta yang tidak selesai di masa SMP-nya. Adalah demi kisah cinta dengan Thufa (diperankan Cathy Sharon), Ridho harus bersaing dengan Delon (memerankan dirinya sendiri), seorang penyanyi Pop.

picture of a pumpkin
Menariknya, ada 3 Karakter yang memerankan dirinya sendiri dalam Dawai 2 Asmara. Rhoma Irama sebagai Raja Dangdut yang melegenda, Ridho Rhoma sebagai anaknya, dan Delon sebagai penyanyi Pop. Sementara tokoh lainnya adalah rekaan. Inilah formula yang selalu dipakai Rhoma dalam film-filmnya, seperti di dalam film Darah Muda atau Menggapai Matahari yang melibatkan ikon rock Indonesia, yaitu Ucok Aka Harahap dan Ikang Fawzi. Formula seperti ini tidak biasa dalam film dengan cerita rekaan, terutama di perfilman Indonesia selama dekade terakhir. Kembali menggunakannya dalam Dawai 2 Asmara, Rhoma irama nampaknya memang membawa misi tertentu.


picture of a pumpkinS I N O P S I S
Bertolak dari poin diatas, saya bingung mengenai revolusi ke-dua yang ingin diperjuangkan oleh Ridho Rhoma bersama kawan-kawannya di Band Sonet2 (ini pun nama pemberian Sang Raja). Maka di manakah letak revolusinya? Bukankah revolusi muncul dari kegelisahan pelakunya, untuk merubah keadaan? Bukan kah revolusi adalah semacam pemberontakan? Sangat berbeda dengan ‘revolusi’ di film Darah Muda (film yang dibintangi Rhoma irama dan disutradarai Drs. Syuman Djaya), yang sama-sama mengangkat soal revolusi musik, Dawai 2 Asmara tidak menyuguhkan konflik yang berarti. Barangkali penulis cerita ingin menggambarkan Ridho yang ‘cool’ alias kalem. Memang begitu. Tapi terlalu ‘cool’ sehingga tidak berkarakter, kurang ‘memberontak’ untuk ukuran anak muda. (Bahkan terlalu ‘cool’ sehingga kalem-kalem saja ketika tertembak di bagian perut sebelah kiri.).

‘Dominasi’ wajah Ridho di layar berpengaruh juga terhadap konflik yang muncul. Bukan tentang Dangdut, tapi tentang peliknya kisah cinta Ridho yang penyanyi Dangdut dan Thufa (cintanya semasa SMP), dan Delon yang penyanyi pop. Ditambah Haura yang diam-diam menyukai Ridho. Hasilnya adalah kisah cinta yang (maunya) pelik, melibatkan pilihan baju, blueberry cheese cake, lagu pop, lagu dangdut dan hujan.

Barangkali justru itu adalah revolusinya, yaitu ketika banyak ikon kebudayaan lain kalah, menyerah, dan menyembah terhadap ikon Dangdut sebagai bentuk kemenangan Dangdut. Salah satunya dalam percintaan, dimana seorang ikon Pop bernama Delon kalah terhadap ikon Dangdut dalam memperebutkan Thufa. Di bagian lainnya, Haura, seorang ‘asing’ yang kami harapkan bisa menjadi kunci penting untuk membedah Dangdut secara lebih dalam, malah beralih dan ikut menyerah kepada pesona seorang ikon Dangdut. Tentunya, ikon Dangdut yang dimaksud adalah Ridho, sebagai pewaris Raja Dangdut. Dan jangan lupakan Bang Haji sebagai Raja Dangdut, yang masih punya pengaruh. Begitu berpengaruh sehingga diciptakanlah tokoh Bruto, seorang supir taxi yang melakukan apapun agar Bang Haji manggung di kampungnya dan dekat dengannya, termasuk mengancam mati Bang Haji.

Jelas bahwa revolusi yang diingingkan Rhoma irama selaku executive producer adalah pencitraan dirinya dan musiknya yang nampaknya mulai menurun di mata generasi sekarang.

Mencatut Dangdut

Selama ini Dangdut, di luar kalangan penikmatnya, adalah objek tertawaan (ejekan). Disebut objek tertawaan karena merupakan sesuatu yang dianggap norak dan akan merusak imej, terutama bagi anak muda. Kelihatannya begitu, karena seorang teman misuh-misuh ketika saya bilang saya ingin mengirim tautan video dangdut di Dinding Profil Facebook-nya.

Saya mengerti kenapa Bang Haji merasa penting untuk men-‘Dawai’kan revolusi ke-dua. Saat ini saya pikir dangdut memang sedang terpuruk pada jurang eksploitasi tubuh perempuan, musik remix yang monoton dan tidak kreatif ,dan lirik-lirik yang terlalu lugas dan cenderung vulgar. Revolusi yang disebut Bang haji di awal film memang bukan omong kosong. Bang haji telah menyelamatkan orkes melayu yang hampir tenggelam karena gempuran musik Rock di awal dekade 70-an, dengan memadukan keduanya sehingga menjadi baru.

Rupanya melalui film ini, Bang Haji ingin Dangdut terselamatkan lagi dari keterpurukannya, dengan membesarkan nama Ridho Rhoma. Sayangnya Ridho yang tidak bisa diharapkan sebagai pembawa revolusi ke-dua. Film ini juga tidak bisa diharapkan sebagai corong suara Dangdut, melainkan corong perluasan musik Ridho Rhoma. Jika diibaratkan Dawai, Dawai Bang Haji dan Ridho kali ini fals, tidak jelas bunyinya. Bahkan Secara musikal, film ini kurang cakap memainkan elemen musiknya, berbeda dengan kejeniusan Rhoma irama dengan musik Rock dan Dangdutnya di Darah Muda.

Sebagai pengagum (rahasia) musik dangdut, saya masih berharap banyak . Saya masih berharap bahwa akan ada film maker yang mau bercerita tentang Dangdut secara luas, mengena, dan esensial, bukan sebagai objek ejekan lagi. Penting, tentunya. Karena Dangdut Adalah musik misterius yang membuat rakyat Indonesia tetap bertahan ditengah gempuran banyak masalah kenaikan harga dan ketidakamanan. Berkaca pada lagu keong Racun dan Bang Toyib, Dangdut adalah bentuk sikap dan semangat yang mengagumkan, bahwa “Apapun bisa dibawa berjoged…! Apapun bisa dibawa senang…!”

Kali ini Rhoma irama bukan sorotan utamanya, melainkan Ridho. Mudah saja menebak bahwa Ridho adalah tokoh paling utama dalam film ini, dilihat dari seringnya penata kamera menyorot Ridho secara Close Up hampir di setiap adegan dimana dia muncul (yang juga banyak jumlahnya). Sayangnya, tokoh utama ini nampak tidak punya kontrol terhadap karakternya. Termasuk dalam melaksanakan misi revolusinya pun, Ridho manut-manut terhadap titah Sang Raja untuk membuat Band Dangdut sesuai keinginan Sang Raja Dangdut.

No comments:

Post a Comment

 

© Copyright GALAXS212 2010 -2011 | Design by Den Rozak | Published by Site Den Rozak | Powered by Blogger.com.